“Bu! Bu Guru! Bu Fatmah!”
Terdengar seseorang
meneriakkan namaku. Kuangkat kepalaku, kuarahkan pandangan pada sesosok pemuda
yang sedang tersenyum sembari melambaikan tangan padaku. Kupicingkan mataku
untuk melihat siapakah gerangan sosok pemuda itu. Mataku yang memang sudah
rabun sejak muda pun tidak bisa kuajak kompromi.
Kuposisikan kacamata
minusku di tempat yang seharusnya, karena aku biasanya meletakkan kacamata di
atas kepalaku selayaknya bando. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Maka
kukembangkan senyum di bibirku.
“Ah… anak ini,” batinku
dalam hati, tanpa bisa kutahan senyum kembali tergambar di wajahku. Terbesit
sejuta rasa yang tak mampu kuungkapkan. Kusambut lambaian tangannya dengan anggukkan
dan sebuah lambaian untuk menyuruhnya mendekatiku. Dia pun berjalan menuju ke
arahku dengan sangat bahagianya.
Kulihat langkahnya yang
semakin dipercepat menuju ke arahku. Ya, belum lama ini aku mendengar kabar
tentangnya, sebuah kabar baik tentunya. Ah… ingatanku kembali berputar pada
masa beberapa tahun silam.
***
2011
“Assalamualaikum
anak-anak, selamat pagi semuanya. Hari ini pertemuan pertama dan pembelajaran
pertama bagi anak-anak di bangku SMP ini. Salam kenal semuanya ya, perkenalkan
saya Fatmawati Ningsih, anak-anak bisa memanggil saya Bu Fatmah, saya mengajar
mata pelajaran bahasa Indonesia,” kuperkenalkan diriku di depan putra putri
calon penerus bangsa.
Hari ini bukan hanya
mereka yang pertama kali masuk di bangku SMP, aku pun baru pertama kali
menjalani profesiku sebagai seorang guru. Puji syukur kupanjatkan kepada Allah
SWT karena setelah lulus dari bangku perkuliahan aku langsung mendapatkan
sekolah untuk aku mengajar.
Aku selalu menanamkan
dalam hatiku, di sini aku tidak sedang bekerja sebagai seorang guru bahasa
Indonesia, tetapi aku sedang mengantarkan anak-anak ini untuk dapat menggapai
cita. Dari sini segala cerita dalam penggalan perjalanan hidupku dimulai. Saat
ketika aku mengenalnya.
Salaf. Muhammad
Salafudin Rahman. Dia adalah anak yang sangat imut, santun, bersemangat, dan
cerdas. Itulah gambaran yang kutangkap selama setahun aku menjadi guru mata
pelajaran di kelasnya.
Ternyata hanya satu
tahun itu pula aku mengajar di SMP, karena di tahun berikutnya aku ditarik
untuk mengajar di SMK. Sekolahku adalah sebuah sekolah yayasan kecil yang
terletak di pinggiran kota. Dalam satu lingkungan terdapat SMP, SMK dan panti
asuhan. Memang siswanya tidak terlalu banyak, tapi justru karena itulah rasa
kekeluargaan kami terasa semakin erat.
***
Lamunanku tersentak
ketika pemuda tampan ini telah berada tepat di depanku. Dia meraih tanganku,
lalu menciumnya dengan penuh takzim.
“Oh, Nak. Aku tidak
sepantas itu diperlakukan dengan penuh hormat,” batinku dalam hati. Aku sedang
duduk sendiri di tengah keramaian, menunggu antrean giliran untuk vaksin di
kelurahan.
Setelah melepas
tanganku dia mengambil posisi di sebelahku duduk. Kulihat wajahnya, dia masih
sama seperti yang dulu. Masih tetap lugu, sopan, dan bersemangat.
“Bu Fatmah sudah
mendengar kabar bahagia ini, Ibu bangga padamu, Nak,” kumulai membuka
pembicaraan dengannya.
“Ah, apa toh bu?” katanya dengan penuh malu-malu.
Kupegang pundaknya yang
bidang sambil kuelus perlahan. “Kamu hebat, Nak,” pujiku dengan setulus hati.
Sambil tersenyum malu-malu pun ia menceritakan perjuangannya sampai di sini. Kudengarkan
degan penuh antusias sembari sesekali kusisipi pujian padanya.
Setelah kurasa cukup
berbasa-basi, aku mulai menanyakan sesuatu yang cukup sensitif baginya. “Ibu
sudah pulang?” tanyaku dengan hati-hati.
Dia menjawab dengan sedikit
desahan, “Hah, belum, Bu. Sejak hari itu belum pernah pulang,” kulihat dia
sedikit menunduk.
“Sudah, sudah, tidak
perlu mengingat masa itu. Sekarang kamu di sini, saat ini menjadi dirimu yang
baru, yang lebih baik,” hiburku.
“Ya, Bu,” jawabnya tegas
kali ini.
“Adik-adik masih
sekolah kan?” tanyaku lagi yang hanya
dijawab dengan anggukan. “Nah, kamu harus kuat untuk mereka, kamu juga harus
mengantar mereka sampai sukses seperti kamu.”
“Ya, Bu. Saya harus
jadi Pak dan Mbok untuk mereka,” senyumnya mulai terasa getir.
“Nak, kamu harus tetap
kuat. Allah memilih kamu karena kamu adalah yang paling kuat,” kataku
benar-benar jujur. Karena jika aku yang ada di posisinya, belum tentu aku bisa
menjadi kuat seperti dia saat ini.
“Le, embernya di mana?” Tanya Pak Bayan Nurdin kepadanya.
“Di sebelah musala,
Pak,” jawabnya, “ini juga baru mencari selang belum ketemu,” jelasnya pada yang
memberikan perintah. Lalu kutepuk pundaknya, “sudah sana selesaikan tugasmu,”
kataku sambil mengangguk.
“Iya, Bu, saya permisi
dulu,” pamitnya dengan lembut.
***
“Nomor
antrean 65 menuju ke meja skrining.”
Terdengar pekikan pengeras
suara di antara panjangnya antrean. Kulirik nomor antreanku menunjukkan angka
259, ah… masih sangat lama sampai dengan giliran nomorku dipanggil. Ingatanku
kembali berfantasi di masa lalu tentang Salaf.
Tiga tahun setelah masa
itu, aku masih mengajar di yayasan yang sama, di SMK. Maka takdir pun
mempertemukan kami kembali, masih dengan status yang sama, aku sebagai guru dan
dia sebagai muridku. Mungkin kami pun masih sama, aku melihatnya masih sama
santun, bersemangat, dan cerdas, hanya tidak imut lagi karena kini dia telah
menjelma menjadi sosok pemuda yang gagah, sedangkan aku, masih menjadi guru dengan
tekad yang sama.
“Salaf, kamu sudah SMK
ya, Nak, alhamdullilah ketemu Bu Fatmah lagi,” tulus kuucapkan karena jujur
sebagai seorang guru aku merasa senang jika di kelasku ada siswa yang pandai,
apalagi sosoknya yang santun dan rendah hati, semua guru di dunia selalu
mendamba punya murid sepertinya.
“Iya, Bu,” jawabnya,
“sekarang saya di panti, Bu.”
Agak terkejut aku
mendengar ucapannya, “Memangnya kenapa kamu kok
sekarang di panti?”
Semburat sendu terlihat
di air mukanya ketika aku menanyakan pertanyaan itu. Kudekati dia, kurangkul dan
kuelus pundaknya, dia pun menunduk. Merah kulihat matanya yang kuat
memertahankan air matanya agar tak tumpah. Sesaat kami terpaku dalam
keheningan. Kuambil napas dalam-dalam, kupegang jari jemarinya yang kokoh.
“Nak, kamu boleh cerita
jika butuh teman untuk cerita. Tapi jika kali ini kamu belum siap, Bu Fatmah
akan tunggu sampai kamu siap,” kuulum senyum di bibirku untuk meyakinkannya bahwa aku tidak sedang
berpura-pura peduli padanya.
Dia mengangkat
kepalanya tinggi-tinggi, kurasakan dia mengepalkan tangannya, mengambil napas
dan mulai membuka suara.
“Waktu kelas 8 SMP, Bu,
saya sempat hampir putus sekolah. Orangtua
saya berpisah, Bu. Ayah menikah lagi, sedangkan ibu pergi entah kemana,”
sedikit terbata ia curahkan luka di hatinya.
Aku bukan guru BK yang
dibekali kemampuan untuk menghadapi situasi seperti ini, hanya kuandalkan
naluriku sebagai seorang guru untuk sebisa mungkin menguatkannya. Masih
kudengarkan ceritanya dengan saksama, dia kisahkan semua hal kelam yang
menimpanya pada masa itu.
Dia tiga bersaudara,
anak pertama dengan dua orang adik. Mereka adalah korban perpisahan kedua
orangtua mereka. Setelah perpisahan itu, ayahnya pergi mencari kebahagiaannya
sendiri. Ternyata tidak bertahan lama, ibu mereka pun turut pergi meninggalkan
mereka. Tinggallah tiga bersaudara itu bersama kakek dan nenek yang mulai
renta.
Anak seusianya waktu
itu pasti begitu berat menerima semua keadaan ini. Betapa tiada hentinya badai
kehidupan menghantam dan menghantamnya dengan bertubi-tubi. Ya Allah, jika aku
di posisinya saat itu, aku yakin aku tidak akan setangguh itu.
“Syukurlah, Bu, saat
itu Pak Rio mengajak saya untuk tinggal di panti ini. Setidaknya, beban kakek
dan nenek tidak terlalu berat,” tuturnya dengan binar mata yang berkilauan.
Ya, Pak Rio adalah ‘Bapak
Panti’ di sini. Sungguh beliau telah melakukan hal benar dengan menyelamatkan Salaf
dari lembah kehancuran. Perlahan semangat belajarnya kembali muncul,
kepercayaan dirinya kembali menggelora di dada.
Betapa penggalan
kisahnya teramat menyayat hati nuraniku. Tidak ada yang dapat kukatakan dan
kulakukan untuknya. Aku hanya berharap kata sabar dan semangat yang kuucapkan
akan semakin membuatnya tegar.
Satu tahun masa SMK
berjalan dengan indahnya. Salaf tetap menjadi teladan bagi teman-temannya.
Semangat belajarnya tinggi, suka membantu, dan pantang menyerah terhadap
apapun. Sesekali dia pulang ke rumah kakek dan neneknya untuk sekadar melepas
rindu dan melihat kondisi adik-adiknya. Sesekali, panti mendapat bantuan entah
dari Dinas Sosial ataupun tangan-tangan para dermawan, maka ia pun
menyisihkannya untuk orang-orang terkasih. Hari demi hari dijalaninya dengan
ikhlas memenuhi garis takdir yang Tuhan telah goreskan.
Hingga suatu ketika aku
melihatnya berbeda. Waktu itu sepulang sekolah, keadaan sekolah telah sepi
karena siswa dan guru berangsur pulang. Aku masih di sekolah demi wifi, maklumlah guru honorer, gaji tidak
seberapa, sebisa mungkin menghemat pengeluaran. Hari itu aku mendapat undangan
dari Profesorku di kampus tempatku menimba ilmu selama empat tahun. Beliau
memberikan undangan seleksi beasiswa untuk S2, sungguh aku masih gamang kala
itu.
Saat aku terpaku
sendiri di meja kerjaku, tidak sengaja aku melihat Salaf celingak-celinguk ke
kanan dan kiri. Aku mengendap mendekatinya.
Saking seriusnya, hingga dia tidak menyadari bahwa aku ada di belakangnya. Hasrat
isengku pun tak bisa kubendung, maka kukejutkan dia hingga dia terperanjat.
Seketika ia balikkan
badannya, kutatap wajahnya penuh selidik. Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
aku yakin tidak gatal, dia pun cengengas-cengenges
menahan malu.
“Kenapa kamu?” tanyaku
sambil ikut celingak-celinguk tanpa tahu apa yang perlu kukhawatirkan.
Ditempelkannya jari
telunjuk ke bibirnya yang terkatup sebagai tanda bahwa apa yang akan dia
katakan adalah sebuah rahasia, “Bu, jangan bilang Pak Rio, ya, Bu.”
Kukernyitkan alisku
sebagai tanda aku tidak mengerti, “emangnya kenapa?”
“Begini, Bu, Ibu saya
pulang,” kalimatnya tertahan melihat betapa excited-nya
aku.
“Alhamdulillah,” kataku
memotong kalimatnya dengan rona bahagia yang tidak bisa kusembunyikan, “terus
kenapa?” tanyaku penasaran sambil mengangkat kedua bahuku karena belum memahami
arah pembicaraan yang dimaksud oleh Salaf.
“Ibu saya tidak
mengizikan saya tinggal lagi di panti, Bu. Ibu menyuruh saya untuk tinggal di
rumah kakek lagi,” jelasnya padaku.
“Oh, begitu,” aku
manggut-manggut mulai mengerti kegelisahannya, “Nak, bagaimanapun juga Pak Rio
orang yang sangat berjasa dalam hidupmu, beliaulah yang menyelematkanmu dari
lembah nestapa dan kegalauan hidupmu saat itu. Tapi, ibumu punya hak dan yang
jelas punya kewajiban merawat kamu dan adik-adikmu.”
“Nah, itu juga, Bu,
yang membuat saya merasa bingung. Sebenarnya sudah 3 hari ini saya bolak-balik
ke rumah dengan diam-diam,” mataku melotot kaget mendengar pengakuannya.
“Sebaiknya katakan saja
yang sejujurnya kepada Pak Rio, saya yakin beliau yang bijak akan bisa
memaklumi keadaanmu,” nasihatku, “apa perlu bantuan saya?” tawarku.
“Enggak, Bu,
terimakasih. Baik, Bu, saya akan matur
sama Pak Rio,” janjinya, “tapi untuk kali ini tolong ya, Bu, jangan dilaporkan,”
pintanya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.
“Ya,” jawabku sambil
mengangguk-angguk.
“Terimakasih, Bu,”
tutupnya, “assalamualaikum,” pamitnya sambil berangsur berlalu meninggalkan
sekolah.
Aku tersenyum sambil
menggelengkan kepala, “waalaikumsalam.” Perasaan ikut berbahagia pun mengalir
memenuhi aliran darahku. Kuucapkan syukur dalam hati, terimakasih ya Allah,
Engkau kembalikan senyum dan kebahagiaan di hati anak ini. Semoga ini adalah
akhir dari masa kelam hidupnya, semoga hari-hari ke depan akan semakin mudah
untuknya melangkah. Ya Allah yang Maha Pemurah mudahkanlah setiap jalan yang
akan dia tempuh.
Aku kembali ke meja
kerjaku, kutatap lekat-lekat undangan itu. Haruskah kuambil beasiswa itu? Aku
merasa sudah nyaman bekerja di sini. Sudah puas aku menjadi guru di sekolah ini,
untuk apa aku sekolah lagi? Akhirnya, masih dengan kegalauan hatiku, kuambil
napas panjang, kututup laptopku dan kucoba meraba hatiku. Ah, masa itu, aku
jadi teringat masa itu.
***
“Nomor
antrean 259 menuju ke meja skrining.”
Lamunanku tersentak
ketika nomor antreanku telah dipanggil. Aku berjalan menuju meja skrining. Kujawab beberapa pertanyaan
yang diajukan oleh petugas. Ini adalah kali kedua aku menghadapi petugas skrining. Sebelumnya, beberapa bulan
yang lalu aku sempat hampir divaksin, tetapi tidak lolos skrining karena saat itu aku sedang hamil anak kedua. Padahal
sekarang sudah ada vaksin untuk ibu hamil. Coba dari dulu sudah ada, pasti aku
sudah selesai divaksin tahap kedua seperti rekan-rekan lain di tempat kerjaku.
Vaksin menjadi
keharusan bagi kita untuk mewujudkan negara menuju ke arah herd immunity. Seperti yang kita ketahui
bersama, Covid-19 sudah merusak tatanan kehidupan selama dua tahun lebih. Kita
sudah terlalu lelah, kita sudah teramat rindu dengan kondisi yang normal. Maka,
aku dan seluruh warga di kampungku hari ini, di sini untuk memenuhi hak kami
mendapatkan vaksin yang sangat berguna bagi kami dalam membentengi raga kami
dari serangan virus Covid-19.
“Ibu sudah pernah kena
Corona?” petugas melempar pertanyaan padaku.
“Pernah,” jawabku.
“Kapan, Bu?” lanjutnya.
“Bulan Desember,”
jawabku. Ah, pertanyaannya mengingatkanku pada hari itu, ketika hasil swab-ku menyatakan bahwa aku positif
Corona. Semua masih terlalu awam dengan Corona. Berbagai penelitian belum
sampai pada simpulan. Apa yang akan terjadi dengan penderita Corona dalam
kondisi hamil belum ada yang tahu jawabnya. Hanya sedih, bingung, dan bimbang yang
kuhadapi ketika masa isolasi mandiri. Tapi, ya sudahlah, alhamdulillah aku masih dilindungi oleh-Nya. Bayiku pun telah lahir
dengan selamat dan sempurna atas kehendak-Nya.
“Bulan Desember
dinyatakan positif atau sembuh?” tanya petugas itu kembali.
“Sembuh,” jawabku
mantap.
“Baik, kondisi Ibu
bagus, boleh divaksin ya,” kata petugas sangat melegakan, “Silahkan tunggu
sebelah sana ya, Bu,” perintahnya sambil menunjuk ke kursi tunggu.
Aku duduk mengambil
posisi di kursi tunggu untuk menunggu giliranku divaksin. Salaf sedang
mondar-mandir bertugas melakukan tugasnya. Sesekali dia menunduk dengan mata
tersenyum ketika melewatiku. Ingatanku pun kembali tertuju pada kisahnya.
Saat itu tahun kedua di
SMK. Badai itu kembali datang menghantamnya, kini benar-benar tanpa ampun. Dia
kembali terperosok ke lembah terdalam, teramat dalam hingga tak mampu lagi
melihat cahaya. Gaya bahasa repetisi berguna untuk penegasan sebuah kalimat,
tapi kalau badai seperti ini, haruskah perlu pengulangan, repetisi.
Aku dengan sedikit kepekaanku melihat ada yang berbeda darinya. Jam
istirahat, ketika semua anak meninggalkankan kelas, aku masih tertahan di kelas
XI karena malas beranjak. Kulihat ia di sana, duduk terpaku di bangkunya.
Tatapan matanya kosong menerawang entah kemana. Aku beranjak dari tempat
dudukku, dengan langkah perlahan aku menghampirinya.
Setelah sampai, kuambil
bangku di sampingnya. Kuposisikan diriku agar lebih dekat dengannya. Kubelai
rambutnya, ia sedikit terkejut. Kutundukkan wajahku agar sejajar dengannya. Perlahan
ia menegakkan kepalanya menatapku sayu, matanya begitu redup seolah meminta
pertolongan.
“Nak, kamu kenapa,”
tanyaku padanya.
Dia hanya memandangku,
rautnya terlihat lelah, begitu lelah hingga tak mampu mengucapkan kata. Aku
tahu dia tidak sedang ingin berbicara, dia hanya butuh bahu untuk bersandar,
untuk sekadar berbagi duka, berharap dapat menemukan obat atas semua luka.
Maka kuraih kepalanya,
kurangkul pundaknya, bengangsur diletakkannya kepala di bahuku. Kuberi dia
ruang untuk melepas semuanya. Tanpa berkata apapun, kulihat aliran derai air
mata mulai menganak sungai di netranya. Kubiarkan ia dengan segala rasanya.
Kubiarkan dia dengan semua resahnya. Air matanya pecah, tumpah, tak lagi mampu
terbendung. Dia terisak, suaranya begitu menyayat. Tak ada yang bisa kulakukan,
aku hanya bisa terdiam.
Dia mulai melepaskan
kepalanya dari pundakku ketika salah seorang teman masuk ke kelas. Diusapnya
air mata itu dengan tergesa-gesa. Kemudian dia berlari keluar kelas, entah
kemana.
“Kenapa, Bu,” tanya Umi,
siswa yang baru saja masuk, dengan bingung.
“Hush,” kuletakkan jari
telunjuk di depan bibirku yang terkatup, “gakpapa.”
Beruntung, Umi adalah
anak pendiam dan penurut, maka ia pun tidak bertanya lebih lanjut tentang hal
yang baru saja ia saksikan.
“TEEETTTTTTTTT”
Bel tanda jam istirahat
usai telah berbunyi. Anak-anak kembali bersiap mengikuti jam selanjutnya. Salaf
tidak kembali. Teman-teman mulai bingung mencarinya. Aku membaca kebingungan
siswa di kelasku.
“Kalian mencari Salaf?”
semua mengangguk, “tadi saya menyuruhnya untuk memfotokopi beberapa berkas
saya. Sudah. Ayo kita lanjutkan pelajaran.”
Satu jam pelajaran
berlalu. Kebetulan ada jam kosong, aku tidak mengajar setelah ini. Maka aku
berkeliling sekolah mencari keberadaan Salaf. Setelah beberapa saat mencari,
aku akhirnya menemukannya. Dia berada di pojokan langgar, satu-satunya musala di sekolah ini. Memang, sebelum jam
salat, tempat ini pasti sepi dari jamaah yang hendak bersujud menghadap Allah
Sang Khalik.
Sepertinya dia
menyadari kedatanganku.
“Bu Fatmah,” lirihnya
tanpa menoleh.
Aku tersenyum, berjalan
mendekat kepadanya.
“Maaf, Bu, tadi saya
tidak sopan,” tuturnya. Ini pasti karena tadi dia berlari begitu saja.
“Ya, tidak masalah,”
kataku.
“Bu,” dia mulai membuka
suara. Semoga dia pun mulai membuka hatinya, untuk sekadar membagikan kisahnya.
“Ya,” seramah mungkin
aku mencoba membuatnya merasa nyaman.
“Saya harus bagaimana?”
dia mulai berkeluh kesah.
“Atas apa, Laf?”
hati-hati sekali kutanyakan, agar ia tidak kehilangan kepercayaannya untuk mau berbagi
denganku.
“Ibu saya, Bu. Ibu,”
ada apalagi dengan ibunya. Bukankah dia telah kembali berbahagia dengan
kembalinya sang ibu. Ada apa ya? Aku mencoba menebak-nebak. Mencoba meraba apa
ada hal buruk yang menimpa ibunya? Ah, kutepis segala pikiranku. Kukembalikan
jiwaku padanya. Kuangkat kedua bahuku tanda bahwa aku tidak mengerti apa yang
sedang terjadi padanya.
“Ibu pergi lagi, Bu,”
tangisnya kembali pecah. Ya Allah demi apapun juga, ingin rasanya saat itu aku
memaki, mengumpat dengan segala umpatan yang pernah ada. Bukan sok menjadi hakim. Aku juga tidak tahu
apa alasannya pergi. Tapi, dengan melihat air matanya, aku tahu ini teramat
berat untuknya.
“Yang kuat ya, Nak,”
kucoba memilih kata terbaik, tapi nyatanya hanya itu yang mampu keluar dari
mulutku.
Setelah tangisnya mulai
reda, ia lanjutkan ceritanya. Ya Allah, setiap ia bersiap bersuara, aku selalu
tertahan untuk menata hatiku. Apakah aku akan siap dengan kenyataan yang akan
disampaikannya.
“Ibu sempat pulang
selama 2 minggu, Bu, dengan suami barunya. Adik-adik sangat senang, Bu. Kami
bisa menjadi keluarga yang normal, meskipun kurang lumrah,” dia mengambil jeda untuk sedikit menghirup oksigen, “Ibu
berhutang ke tetangga, lalu pergi.”
DEG!
Ya Allah, rasanya
jantungku berhenti berdetak. Seketika aku menjadi hamba yang sesat dengan
meragukan keadilan-Nya. Ya Allah, mengapa harus seperti ini? Anak sekecil ini?
Apa dia akan kuat? Astaghfirllahaladzim.
Ya Allah ampuni hamba-Mu yang meragukan kuasa-Mu. Maka aku berhenti suudzan. Aku hanya bisa berdoa, Laa khaula wa laa kuwwata illa billah,
ya Allah kuatkanlah.
Kutepiskan kegelisahan
hatiku sendiri. Kalau aku saja tidak sanggup, bagaimana dengannya? Aku tidak
boleh lemah sekarang, siapa yang akan menguatkannya?
Kuambil napas panjang,
sangat panjang, sepanjang aku kuat menghirupnya, “Nak, Allah memilih kamu
karena Allah tahu kamu yang paling kuat diantara yang lain,” aku berharap apa
yang kusampaikan akan mampu meredakan panas hatinya.
Kubimbing dia untuk
mengambil air wudu. Kudampingi dia untuk mengambil kitab Allah. Ayat-ayat suci
adalah obat dari segala macam penyakit. Sambil sesenggukan dia lantunkan
ayat-ayat Alquran. Semakin lama semakin tenang, semakin damai. Ketika dirasa
cukup dia menutup mushafnya. Senyum mulai mengembang di bibinya. Alhamdulillah ya Allah, Kau yang memberi
luka, Kau pula yang Maha Penyembuh Luka.
“Tetap semangat, ya,
kamu bisa,” dia mengangguk.
“Oh, iya, hampir saya
lupa. Saya mencarimu untuk menyampaikan bahwa ada lomba karya ilmiah remaja
untuk jenjang SMA/SMK se-Kota Salatiga, kamu bersedia ikut kan?” tawarku. Mungkin ini bukan saat yang tepat. Tapi, semoga
dengan dia sibuk lomba, dia lebih banyak waktu yang bermanfaat, sehingga tidak
ada waktu lagi untuk bersedih.
“Apa saya bisa bu?” dia
tidak menolak, saya tahu dia mau.
“Kamu tahu, Bu Fatmah
hanya percaya padamu, kamu yang terbaik,” aku menyemangati.
“Tapi karya ilmiahnya
yang seperti apa?” aku menjadi bersemangat mendengar pertanyaannya. Oke, setidaknya dia mulai ada niatan
untuk mempelajarinya.
“Karya ilmiah itu
berupa tulisan, ada sistematikanya tersendiri, diambil dari data dan fakta,
bisa berupa observasi, eksperimen, dengan melihat berbagai kajian teori,” dia
mengangguk, membuat semangatku semakin berkobar.
“Yang penting daftar
dulu, ya, Bu Fatmah tidak akan lepas tangan, saya akan membimbingmu sampai
akhir,” aku meyakinkannya.
“Ya, Bu. Terimakasih
atas kepercayaanya,” ucapnya tulus.
“Baiklah, sekarang
kembali ke kelasmu. Katakan pada gurumu, kamu baru saja disuruh Bu Fatmah untuk
fotokopi,” kini kutepuk pundaknya.
“Ya, Bu, terimakasih,
Bu,” dia pamit.
Ya Allah, hamba mohon
kepada-Mu sembuhkanlah lukanya, ya Allah. Masih di rumah Allah kupanjatkan doa
untuknya.
***
Aku tidak pernah salah
memilihnya untuk mengikuti lomba itu. Dia sangat bersemangat. Dia belajar
dengan sangat cepat dan penuh ketekunan. Selama seminggu dia mengikuti rangkain
kegiatan workshop di Gedung Pertemuan
Daerah yang puncaknya adalah menulis karya ilmiah. Sorenya dia selalu datang ke
rumah untuk bimbingan karya ilmiah. Semangatnya yang membuatku yakin bahwa dia
akan berhasil.
Seminggu telah berlalu,
hari ini adalah puncak kegiatan workshop.
Aku berdoa dia akan mendapatkan hasil yang terbaik. Meskipun aku tahu, kami
hanya sekolah kecil di pinggiran kota. Secara fasilitas kami banyak tertinggal
dengan yang lain. Tapi, apapun hasilnya aku yakin, tidak ada hasil yang
mendustai proses.
Nikmat Allah begitu
sejuk menyiram dahaga hatiku. Kulihat dia berlari tergopoh-gopoh dari gerbang
sekolah menuju ruang guru. Siswa sudah pulang, tinggal beberapa guru yang sudah
berkemas untuk bersiap pulang setelah menyelesaikan tugas pengabdiannya hari
ini. Masih sambil berlari dan terengah-engah dia meneriakkan namaku.
“Bu, Bu, Bu Fatmah!”
kuhampiri dia, mataku tertuju pada sesuatu yang ada di gengaman tangan
kanannya. Sebuah piala besar ia usung dengan bangganya. Di sana tertulis ‘Juara
I Lomba Karya Ilmiah Remaja se-Kota Salatiga’.
Binar matanya
menyorotkan kebahagiaan tiada tara. Rasa bangga membucah di dada.
“Terimaksih, Bu,”
ungkapnya.
“Nak, saya yang
seharusnya berterimakasih padamu. Kamu telah membanggakan sekolah ini dengan
prestasi yang kauukir. Ini semua berkat kegigihanmu, Nak,” aku pun tak kuasa
menyembunyikan rasa bahagiaku. Siapa yang sangka siswa dari sekolah pinggiran
pun mampu berprestasi dan berkompetisi? Dia baru saja mengukir sejarah baru di
sekolah ini. Hanya bangga dan haru memenuhi relung kalbuku.
Aku bersyukur bahwa ini
menjadi langkah awal baginya membuka lembaran hidup yang baru. Semangat
hidupnya kembali menyala. Coretan-coretan kusam dalam lembar hidupnya mulai
terhapus. Berganti dengan halaman-halaman baru yang penuh dengan warna.
Terimakasi ya Allah Tuhan semesta alam.
***
“Salaf,” panggilku
padanya, waktu itu jam istirahat, aku duduk di teras musala depan kelasnya. Dia
pun berhambur menemuiku. Kini dia telah berada di tingkat akhir SMK. Dia harus
mulai menata hidupnya agar lebih bewarna.
“Ya, Bu,” jawabnya
sambil berjalan ke arahku.
“Nak, kamu sekarang
sudah kelas XII. Punya rencana setelah lulus SMK mau apa?” tanyaku memulai
percakapan.
“Mungkin kerja, Bu,”
jawabnya.
“Kok, mungkin. Berarti kamu beum yakin?” tanyaku memancing.
Dia hanya mengangkat
kedua bahunya. Bisa berarti tidak tahu, bisa juga berarti dia pasrah.
“Apa kamu tidak ada
rencana untuk melanjutkan study-mu
sampai ke bangku perkuliahan?” kulanjut tanyaku.
“Saya tidak berani
bermimpi setinggi itu, Bu,” aku tahu dia benar-benar tidak punya daya.
“Nak, kamu itu pandai,
tekun, Allah pasti kasih jalan. Apalagi kamu adalah tulang punggung keluarga.
Nasib keluargamu, masa depan mereka ada di tanganmu. Kamu harus mengubah
nasibmu menjadi lebih baik,” nasihatku yang terdengar sok bijak.
“Tapi bagaimana
caranya, Bu?” dia benar-benar lemas.
“Ini, Bu Fatmah ada
informasi tentang program pemerintah bernama ‘Bidik Misi’,” kuperlihatkan info
di telepon genggamku.
“Itu apa, Bu?”
tanyanya.
“Program beasiswa.
Mungkin Allah menunjukkan Kuasa-Nya melalui ini. Jangan berhenti ikhtiar.
Yakin, kun fayakun, yakin dengan
Allah, Allah itu Mahakaya, Nak,” kunasihati dia.
“Baik, Bu,” sebersit
bahagia terlihat di semburat senyumku. Aku tahu, jika dia sudah berkata ‘iya’,
dia pasti bergerak.
“Ini kamu pelajari
dulu. Jika nanti ada hal yang diperlukan, kamu bisa minta tolong Mas Adi,
operator sekolah. Segara pelajari, ya,” saranku.
“Iya, Bu, saya boleh
minta link-nya?” pintanya.
“Ya, tentu saja,”
jadilah anak yang sukses ya, Nak. Buatlah kami bangga dengan kegigihanmu
melawan getirnya dunia.
Hari berganti, waktu
berlalu. Terdengar kabar dia diterima di STAIN Salatiga dengan program Bidik
Misi. Terimakasih Pemerintah Indonesia, programmu benar-benar mampu mengangkat
derajat mereka yang sangat membutuhkan.
Dan sekarang, dia telah
berada di sini. Menjadi salah satu staf di kelurahan. Rasanya tidak akan
percaya jika belum mengalami sendiri, memang benar telah tiba waktunya, pelangi
itu datang setelah hujan. Setidaknya itulah yang kulihat di ceritanya.
Nak, setiap mengingat
kata ‘terimakasih’ yang terlontar dari bibirnya yang jujur. Saat itu aku merasa
malu pada diriku. Saat mendengar dia diterima bidik misi, saat itu aku justru
seperti tertampar. Kenapa? Dia saja tidak berhenti untuk bermimpi. Lalu
bagaimana dengan aku?
Aku juga tidak boleh meragukan
kekuasaan Allah. Saat itu kupikir, menjadi guru di sekolah swasta adalah
pencapaian tertinggiku. Aku sudah harus berpuas dengan apa yang telah kuraih.
Bagaimana tidak? Baru lulus dari perguruan tinggi aku langsung mengabdikan
diriku di sini, di saat masih banyak temanku yang belum juga mendapatkan
pekerjaan, pantas dong aku merasa
berpuas diri.
Tapi mengenalmu, Salaf,
aku merasa semua puasku harus kutepis. Aku harus terus melaju agar hidupku
menjadi lebih baik lagi. Maka aku pun tidak boleh berhenti sampai di sini. Saat
dia diterima bidik misi, saat itu pula kuputuskan untuk mangikuti seleksi
beasiswa S2, kulanjutkan study-ku
sampai S2. Tidak ada yang boleh berhenti belajar. Tidak ada yang boleh berhenti
berharap.
Saat itu aku masih
menjadi guru honorer, sulit mencari pekerjaan tanpa pengalaman. Aku merasa ini
akhir perjuanganku, saatnya aku berhenti pula untuk bermimpi. Tapi tidak,
karena Salaf, kutegakkan pula kepalaku. Kutatap masa depanku yang lebih baik.
Kuperjuangkan beasiswa untuk menyelesaikan kuliah S2-ku. Tidak pernah ada
pendidikan yang sia-sia. Aku yakin, ilmu bermanfaat yang kudapat di bangku
perkuliahan, akan bisa berguna untuk bekalku di masa depan.
Ketika Salaf
mengatakan, ‘terimakasih telah menginspirasiku, Bu’. Ah, Nak, kamu salah, bukan
aku yang meginspirasimu, tapi kamulah yang telah mengisnpirasiku. Kamu yang
menyadarkanku, bahwa untuk memotivasi orang lain, kita harus terlebih dahulu
memotivasi diri sendiri. Sebelum kita menginspirasi orang lain, kita harus
menginspirasi diri sendiri.
Terimakasih telah
menuliskanku dalam penggalan kisah hidupmu. Teruslah bersinar. Teruslah bersyukur.
Bahwa Allah akan menambahkan nikmat bagi hamba-Nya yang mau mensyukuri
nikmat-Nya. Nak, ini bukan akhir dari segalanya. Perjuangan tidak akan pernah
berakhir. Tugasmu saat ini mengangkat derajat adik-adikmu, mereka masih
bergantung padamu. Maka dalam keadaan apapun jangan pernah kau menyerah.
Dari kisah ini aku bisa
belajar, tentang sebuah ketangguhan. Ketangguhan muridku, mampu
menginspirasiku, gurumu.
***
Aku berjalan pulang
membawa selembar kertas berupa kartu kendali vaksin. Tanggal 8 Novermer 2021 aku
akan kembali ke sini, Nak. Pada hari itu aku terjadwal untuk mengikuti vaksin
kedua. Terimakasih untuk cerita hari ini, semoga esok hari masih akan tetap ada
pelangi.
Teruntuk
muridku yang telah mengisnpirasiku