Kamis, 09 Februari 2023

Kaulah Inspirasiku

 “Bu! Bu Guru! Bu Fatmah!”

Terdengar seseorang meneriakkan namaku. Kuangkat kepalaku, kuarahkan pandangan pada sesosok pemuda yang sedang tersenyum sembari melambaikan tangan padaku. Kupicingkan mataku untuk melihat siapakah gerangan sosok pemuda itu. Mataku yang memang sudah rabun sejak muda pun tidak bisa kuajak kompromi.

Kuposisikan kacamata minusku di tempat yang seharusnya, karena aku biasanya meletakkan kacamata di atas kepalaku selayaknya bando. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Maka kukembangkan senyum di bibirku.

“Ah… anak ini,” batinku dalam hati, tanpa bisa kutahan senyum kembali tergambar di wajahku. Terbesit sejuta rasa yang tak mampu kuungkapkan. Kusambut lambaian tangannya dengan anggukkan dan sebuah lambaian untuk menyuruhnya mendekatiku. Dia pun berjalan menuju ke arahku dengan sangat bahagianya.

Kulihat langkahnya yang semakin dipercepat menuju ke arahku. Ya, belum lama ini aku mendengar kabar tentangnya, sebuah kabar baik tentunya. Ah… ingatanku kembali berputar pada masa beberapa tahun silam.

***

2011

“Assalamualaikum anak-anak, selamat pagi semuanya. Hari ini pertemuan pertama dan pembelajaran pertama bagi anak-anak di bangku SMP ini. Salam kenal semuanya ya, perkenalkan saya Fatmawati Ningsih, anak-anak bisa memanggil saya Bu Fatmah, saya mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia,” kuperkenalkan diriku di depan putra putri calon penerus bangsa.

Hari ini bukan hanya mereka yang pertama kali masuk di bangku SMP, aku pun baru pertama kali menjalani profesiku sebagai seorang guru. Puji syukur kupanjatkan kepada Allah SWT karena setelah lulus dari bangku perkuliahan aku langsung mendapatkan sekolah untuk aku mengajar.

Aku selalu menanamkan dalam hatiku, di sini aku tidak sedang bekerja sebagai seorang guru bahasa Indonesia, tetapi aku sedang mengantarkan anak-anak ini untuk dapat menggapai cita. Dari sini segala cerita dalam penggalan perjalanan hidupku dimulai. Saat ketika aku mengenalnya.

Salaf. Muhammad Salafudin Rahman. Dia adalah anak yang sangat imut, santun, bersemangat, dan cerdas. Itulah gambaran yang kutangkap selama setahun aku menjadi guru mata pelajaran di kelasnya.

Ternyata hanya satu tahun itu pula aku mengajar di SMP, karena di tahun berikutnya aku ditarik untuk mengajar di SMK. Sekolahku adalah sebuah sekolah yayasan kecil yang terletak di pinggiran kota. Dalam satu lingkungan terdapat SMP, SMK dan panti asuhan. Memang siswanya tidak terlalu banyak, tapi justru karena itulah rasa kekeluargaan kami terasa semakin erat.

***

Lamunanku tersentak ketika pemuda tampan ini telah berada tepat di depanku. Dia meraih tanganku, lalu menciumnya dengan penuh takzim.

“Oh, Nak. Aku tidak sepantas itu diperlakukan dengan penuh hormat,” batinku dalam hati. Aku sedang duduk sendiri di tengah keramaian, menunggu antrean giliran untuk vaksin di kelurahan.

Setelah melepas tanganku dia mengambil posisi di sebelahku duduk. Kulihat wajahnya, dia masih sama seperti yang dulu. Masih tetap lugu, sopan, dan bersemangat.

“Bu Fatmah sudah mendengar kabar bahagia ini, Ibu bangga padamu, Nak,” kumulai membuka pembicaraan dengannya.

“Ah, apa toh bu?” katanya dengan penuh malu-malu.

Kupegang pundaknya yang bidang sambil kuelus perlahan. “Kamu hebat, Nak,” pujiku dengan setulus hati. Sambil tersenyum malu-malu pun ia menceritakan perjuangannya sampai di sini. Kudengarkan degan penuh antusias sembari sesekali kusisipi pujian padanya.

Setelah kurasa cukup berbasa-basi, aku mulai menanyakan sesuatu yang cukup sensitif baginya. “Ibu sudah pulang?” tanyaku dengan hati-hati.

Dia menjawab dengan sedikit desahan, “Hah, belum, Bu. Sejak hari itu belum pernah pulang,” kulihat dia sedikit menunduk.

“Sudah, sudah, tidak perlu mengingat masa itu. Sekarang kamu di sini, saat ini menjadi dirimu yang baru, yang lebih baik,” hiburku.

“Ya, Bu,” jawabnya tegas kali ini.

“Adik-adik masih sekolah kan?” tanyaku lagi yang hanya dijawab dengan anggukan. “Nah, kamu harus kuat untuk mereka, kamu juga harus mengantar mereka sampai sukses seperti kamu.”

“Ya, Bu. Saya harus jadi Pak dan Mbok  untuk mereka,” senyumnya mulai terasa getir.

“Nak, kamu harus tetap kuat. Allah memilih kamu karena kamu adalah yang paling kuat,” kataku benar-benar jujur. Karena jika aku yang ada di posisinya, belum tentu aku bisa menjadi kuat seperti dia saat ini.

Le, embernya di mana?” Tanya Pak Bayan Nurdin kepadanya.

“Di sebelah musala, Pak,” jawabnya, “ini juga baru mencari selang belum ketemu,” jelasnya pada yang memberikan perintah. Lalu kutepuk pundaknya, “sudah sana selesaikan tugasmu,” kataku sambil mengangguk.

“Iya, Bu, saya permisi dulu,” pamitnya dengan lembut.

***

“Nomor antrean 65 menuju ke meja skrining.”

Terdengar pekikan pengeras suara di antara panjangnya antrean. Kulirik nomor antreanku menunjukkan angka 259, ah… masih sangat lama sampai dengan giliran nomorku dipanggil. Ingatanku kembali berfantasi di masa lalu tentang Salaf.

Tiga tahun setelah masa itu, aku masih mengajar di yayasan yang sama, di SMK. Maka takdir pun mempertemukan kami kembali, masih dengan status yang sama, aku sebagai guru dan dia sebagai muridku. Mungkin kami pun masih sama, aku melihatnya masih sama santun, bersemangat, dan cerdas, hanya tidak imut lagi karena kini dia telah menjelma menjadi sosok pemuda yang gagah, sedangkan aku, masih menjadi guru dengan tekad yang sama.

“Salaf, kamu sudah SMK ya, Nak, alhamdullilah ketemu Bu Fatmah lagi,” tulus kuucapkan karena jujur sebagai seorang guru aku merasa senang jika di kelasku ada siswa yang pandai, apalagi sosoknya yang santun dan rendah hati, semua guru di dunia selalu mendamba punya murid sepertinya.

“Iya, Bu,” jawabnya, “sekarang saya di panti, Bu.”

Agak terkejut aku mendengar ucapannya, “Memangnya kenapa kamu kok sekarang di panti?”

Semburat sendu terlihat di air mukanya ketika aku menanyakan pertanyaan itu. Kudekati dia, kurangkul dan kuelus pundaknya, dia pun menunduk. Merah kulihat matanya yang kuat memertahankan air matanya agar tak tumpah. Sesaat kami terpaku dalam keheningan. Kuambil napas dalam-dalam, kupegang jari jemarinya yang kokoh.

“Nak, kamu boleh cerita jika butuh teman untuk cerita. Tapi jika kali ini kamu belum siap, Bu Fatmah akan tunggu sampai kamu siap,” kuulum senyum di bibirku  untuk meyakinkannya bahwa aku tidak sedang berpura-pura peduli padanya.

Dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, kurasakan dia mengepalkan tangannya, mengambil napas dan mulai membuka suara.

“Waktu kelas 8 SMP, Bu, saya sempat hampir putus sekolah.  Orangtua saya berpisah, Bu. Ayah menikah lagi, sedangkan ibu pergi entah kemana,” sedikit terbata ia curahkan luka di hatinya.

Aku bukan guru BK yang dibekali kemampuan untuk menghadapi situasi seperti ini, hanya kuandalkan naluriku sebagai seorang guru untuk sebisa mungkin menguatkannya. Masih kudengarkan ceritanya dengan saksama, dia kisahkan semua hal kelam yang menimpanya pada masa itu.

Dia tiga bersaudara, anak pertama dengan dua orang adik. Mereka adalah korban perpisahan kedua orangtua mereka. Setelah perpisahan itu, ayahnya pergi mencari kebahagiaannya sendiri. Ternyata tidak bertahan lama, ibu mereka pun turut pergi meninggalkan mereka. Tinggallah tiga bersaudara itu bersama kakek dan nenek yang mulai renta.

Anak seusianya waktu itu pasti begitu berat menerima semua keadaan ini. Betapa tiada hentinya badai kehidupan menghantam dan menghantamnya dengan bertubi-tubi. Ya Allah, jika aku di posisinya saat itu, aku yakin aku tidak akan setangguh itu.

“Syukurlah, Bu, saat itu Pak Rio mengajak saya untuk tinggal di panti ini. Setidaknya, beban kakek dan nenek tidak terlalu berat,” tuturnya dengan binar mata yang berkilauan.

Ya, Pak Rio adalah ‘Bapak Panti’ di sini. Sungguh beliau telah melakukan hal benar dengan menyelamatkan Salaf dari lembah kehancuran. Perlahan semangat belajarnya kembali muncul, kepercayaan dirinya kembali menggelora di dada.

Betapa penggalan kisahnya teramat menyayat hati nuraniku. Tidak ada yang dapat kukatakan dan kulakukan untuknya. Aku hanya berharap kata sabar dan semangat yang kuucapkan akan semakin membuatnya tegar.

Satu tahun masa SMK berjalan dengan indahnya. Salaf tetap menjadi teladan bagi teman-temannya. Semangat belajarnya tinggi, suka membantu, dan pantang menyerah terhadap apapun. Sesekali dia pulang ke rumah kakek dan neneknya untuk sekadar melepas rindu dan melihat kondisi adik-adiknya. Sesekali, panti mendapat bantuan entah dari Dinas Sosial ataupun tangan-tangan para dermawan, maka ia pun menyisihkannya untuk orang-orang terkasih. Hari demi hari dijalaninya dengan ikhlas memenuhi garis takdir yang Tuhan telah goreskan.

Hingga suatu ketika aku melihatnya berbeda. Waktu itu sepulang sekolah, keadaan sekolah telah sepi karena siswa dan guru berangsur pulang. Aku masih di sekolah demi wifi, maklumlah guru honorer, gaji tidak seberapa, sebisa mungkin menghemat pengeluaran. Hari itu aku mendapat undangan dari Profesorku di kampus tempatku menimba ilmu selama empat tahun. Beliau memberikan undangan seleksi beasiswa untuk S2, sungguh aku masih gamang kala itu.

Saat aku terpaku sendiri di meja kerjaku, tidak sengaja aku melihat Salaf celingak-celinguk ke kanan dan kiri.  Aku mengendap mendekatinya. Saking seriusnya, hingga dia tidak menyadari bahwa aku ada di belakangnya. Hasrat isengku pun tak bisa kubendung, maka kukejutkan dia hingga dia terperanjat.

Seketika ia balikkan badannya, kutatap wajahnya penuh selidik. Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin tidak gatal, dia pun cengengas-cengenges menahan malu.

“Kenapa kamu?” tanyaku sambil ikut celingak-celinguk tanpa tahu apa yang perlu kukhawatirkan.

Ditempelkannya jari telunjuk ke bibirnya yang terkatup sebagai tanda bahwa apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia, “Bu, jangan bilang Pak Rio, ya, Bu.”

Kukernyitkan alisku sebagai tanda aku tidak mengerti, “emangnya kenapa?”

“Begini, Bu, Ibu saya pulang,” kalimatnya tertahan melihat betapa excited-nya aku.

“Alhamdulillah,” kataku memotong kalimatnya dengan rona bahagia yang tidak bisa kusembunyikan, “terus kenapa?” tanyaku penasaran sambil mengangkat kedua bahuku karena belum memahami arah pembicaraan yang dimaksud oleh Salaf.

“Ibu saya tidak mengizikan saya tinggal lagi di panti, Bu. Ibu menyuruh saya untuk tinggal di rumah kakek lagi,” jelasnya padaku.

“Oh, begitu,” aku manggut-manggut mulai mengerti kegelisahannya, “Nak, bagaimanapun juga Pak Rio orang yang sangat berjasa dalam hidupmu, beliaulah yang menyelematkanmu dari lembah nestapa dan kegalauan hidupmu saat itu. Tapi, ibumu punya hak dan yang jelas punya kewajiban merawat kamu dan adik-adikmu.”

“Nah, itu juga, Bu, yang membuat saya merasa bingung. Sebenarnya sudah 3 hari ini saya bolak-balik ke rumah dengan diam-diam,” mataku melotot kaget mendengar pengakuannya.

“Sebaiknya katakan saja yang sejujurnya kepada Pak Rio, saya yakin beliau yang bijak akan bisa memaklumi keadaanmu,” nasihatku, “apa perlu bantuan saya?” tawarku.

“Enggak, Bu, terimakasih. Baik, Bu, saya akan matur sama Pak Rio,” janjinya, “tapi untuk kali ini tolong ya, Bu, jangan dilaporkan,” pintanya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.

“Ya,” jawabku sambil mengangguk-angguk.

“Terimakasih, Bu,” tutupnya, “assalamualaikum,” pamitnya sambil berangsur berlalu meninggalkan sekolah.

Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala, “waalaikumsalam.” Perasaan ikut berbahagia pun mengalir memenuhi aliran darahku. Kuucapkan syukur dalam hati, terimakasih ya Allah, Engkau kembalikan senyum dan kebahagiaan di hati anak ini. Semoga ini adalah akhir dari masa kelam hidupnya, semoga hari-hari ke depan akan semakin mudah untuknya melangkah. Ya Allah yang Maha Pemurah mudahkanlah setiap jalan yang akan dia tempuh.

Aku kembali ke meja kerjaku, kutatap lekat-lekat undangan itu. Haruskah kuambil beasiswa itu? Aku merasa sudah nyaman bekerja di sini. Sudah puas aku menjadi guru di sekolah ini, untuk apa aku sekolah lagi? Akhirnya, masih dengan kegalauan hatiku, kuambil napas panjang, kututup laptopku dan kucoba meraba hatiku. Ah, masa itu, aku jadi teringat masa itu.

***

“Nomor antrean 259 menuju ke meja skrining.”

Lamunanku tersentak ketika nomor antreanku telah dipanggil. Aku berjalan menuju meja skrining. Kujawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh petugas. Ini adalah kali kedua aku menghadapi petugas skrining. Sebelumnya, beberapa bulan yang lalu aku sempat hampir divaksin, tetapi tidak lolos skrining karena saat itu aku sedang hamil anak kedua. Padahal sekarang sudah ada vaksin untuk ibu hamil. Coba dari dulu sudah ada, pasti aku sudah selesai divaksin tahap kedua seperti rekan-rekan lain di tempat kerjaku.

Vaksin menjadi keharusan bagi kita untuk mewujudkan negara menuju ke arah ­herd immunity. Seperti yang kita ketahui bersama, Covid-19 sudah merusak tatanan kehidupan selama dua tahun lebih. Kita sudah terlalu lelah, kita sudah teramat rindu dengan kondisi yang normal. Maka, aku dan seluruh warga di kampungku hari ini, di sini untuk memenuhi hak kami mendapatkan vaksin yang sangat berguna bagi kami dalam membentengi raga kami dari serangan virus Covid-19.

“Ibu sudah pernah kena Corona?” petugas melempar pertanyaan padaku.

“Pernah,” jawabku.

“Kapan, Bu?” lanjutnya.

“Bulan Desember,” jawabku. Ah, pertanyaannya mengingatkanku pada hari itu, ketika hasil swab-ku menyatakan bahwa aku positif Corona. Semua masih terlalu awam dengan Corona. Berbagai penelitian belum sampai pada simpulan. Apa yang akan terjadi dengan penderita Corona dalam kondisi hamil belum ada yang tahu jawabnya. Hanya sedih, bingung, dan bimbang yang kuhadapi ketika masa isolasi mandiri. Tapi, ya sudahlah, alhamdulillah aku masih dilindungi oleh-Nya. Bayiku pun telah lahir dengan selamat dan sempurna atas kehendak-Nya.

“Bulan Desember dinyatakan positif atau sembuh?” tanya petugas itu kembali.

“Sembuh,” jawabku mantap.

“Baik, kondisi Ibu bagus, boleh divaksin ya,” kata petugas sangat melegakan, “Silahkan tunggu sebelah sana ya, Bu,” perintahnya sambil menunjuk ke kursi tunggu.

Aku duduk mengambil posisi di kursi tunggu untuk menunggu giliranku divaksin. Salaf sedang mondar-mandir bertugas melakukan tugasnya. Sesekali dia menunduk dengan mata tersenyum ketika melewatiku. Ingatanku pun kembali tertuju pada kisahnya.

Saat itu tahun kedua di SMK. Badai itu kembali datang menghantamnya, kini benar-benar tanpa ampun. Dia kembali terperosok ke lembah terdalam, teramat dalam hingga tak mampu lagi melihat cahaya. Gaya bahasa repetisi berguna untuk penegasan sebuah kalimat, tapi kalau badai seperti ini, haruskah perlu pengulangan, repetisi.

Aku dengan sedikit  kepekaanku melihat ada yang berbeda darinya. Jam istirahat, ketika semua anak meninggalkankan kelas, aku masih tertahan di kelas XI karena malas beranjak. Kulihat ia di sana, duduk terpaku di bangkunya. Tatapan matanya kosong menerawang entah kemana. Aku beranjak dari tempat dudukku, dengan langkah perlahan aku menghampirinya.

Setelah sampai, kuambil bangku di sampingnya. Kuposisikan diriku agar lebih dekat dengannya. Kubelai rambutnya, ia sedikit terkejut. Kutundukkan wajahku agar sejajar dengannya. Perlahan ia menegakkan kepalanya menatapku sayu, matanya begitu redup seolah meminta pertolongan.

“Nak, kamu kenapa,” tanyaku padanya.

Dia hanya memandangku, rautnya terlihat lelah, begitu lelah hingga tak mampu mengucapkan kata. Aku tahu dia tidak sedang ingin berbicara, dia hanya butuh bahu untuk bersandar, untuk sekadar berbagi duka, berharap dapat menemukan obat atas semua luka.

Maka kuraih kepalanya, kurangkul pundaknya, bengangsur diletakkannya kepala di bahuku. Kuberi dia ruang untuk melepas semuanya. Tanpa berkata apapun, kulihat aliran derai air mata mulai menganak sungai di netranya. Kubiarkan ia dengan segala rasanya. Kubiarkan dia dengan semua resahnya. Air matanya pecah, tumpah, tak lagi mampu terbendung. Dia terisak, suaranya begitu menyayat. Tak ada yang bisa kulakukan, aku hanya bisa terdiam.

Dia mulai melepaskan kepalanya dari pundakku ketika salah seorang teman masuk ke kelas. Diusapnya air mata itu dengan tergesa-gesa. Kemudian dia berlari keluar kelas, entah kemana.

“Kenapa, Bu,” tanya Umi, siswa yang baru saja masuk, dengan bingung.

“Hush,” kuletakkan jari telunjuk di depan bibirku yang terkatup, “gakpapa.

Beruntung, Umi adalah anak pendiam dan penurut, maka ia pun tidak bertanya lebih lanjut tentang hal yang baru saja ia saksikan.

“TEEETTTTTTTTT”

Bel tanda jam istirahat usai telah berbunyi. Anak-anak kembali bersiap mengikuti jam selanjutnya. Salaf tidak kembali. Teman-teman mulai bingung mencarinya. Aku membaca kebingungan siswa di kelasku.

“Kalian mencari Salaf?” semua mengangguk, “tadi saya menyuruhnya untuk memfotokopi beberapa berkas saya. Sudah. Ayo kita lanjutkan pelajaran.”

Satu jam pelajaran berlalu. Kebetulan ada jam kosong, aku tidak mengajar setelah ini. Maka aku berkeliling sekolah mencari keberadaan Salaf. Setelah beberapa saat mencari, aku akhirnya menemukannya. Dia berada di pojokan langgar, satu-satunya musala di sekolah ini. Memang, sebelum jam salat, tempat ini pasti sepi dari jamaah yang hendak bersujud menghadap Allah Sang Khalik.

Sepertinya dia menyadari kedatanganku.

“Bu Fatmah,” lirihnya tanpa menoleh.

Aku tersenyum, berjalan mendekat kepadanya.

“Maaf, Bu, tadi saya tidak sopan,” tuturnya. Ini pasti karena tadi dia berlari begitu saja.

“Ya, tidak masalah,” kataku.

“Bu,” dia mulai membuka suara. Semoga dia pun mulai membuka hatinya, untuk sekadar membagikan kisahnya.

“Ya,” seramah mungkin aku mencoba membuatnya merasa nyaman.

“Saya harus bagaimana?” dia mulai berkeluh kesah.

“Atas apa, Laf?” hati-hati sekali kutanyakan, agar ia tidak kehilangan kepercayaannya untuk mau berbagi denganku.

“Ibu saya, Bu. Ibu,” ada apalagi dengan ibunya. Bukankah dia telah kembali berbahagia dengan kembalinya sang ibu. Ada apa ya? Aku mencoba menebak-nebak. Mencoba meraba apa ada hal buruk yang menimpa ibunya? Ah, kutepis segala pikiranku. Kukembalikan jiwaku padanya. Kuangkat kedua bahuku tanda bahwa aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi padanya.

“Ibu pergi lagi, Bu,” tangisnya kembali pecah. Ya Allah demi apapun juga, ingin rasanya saat itu aku memaki, mengumpat dengan segala umpatan yang pernah ada. Bukan sok menjadi hakim. Aku juga tidak tahu apa alasannya pergi. Tapi, dengan melihat air matanya, aku tahu ini teramat berat untuknya.

“Yang kuat ya, Nak,” kucoba memilih kata terbaik, tapi nyatanya hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

Setelah tangisnya mulai reda, ia lanjutkan ceritanya. Ya Allah, setiap ia bersiap bersuara, aku selalu tertahan untuk menata hatiku. Apakah aku akan siap dengan kenyataan yang akan disampaikannya.

“Ibu sempat pulang selama 2 minggu, Bu, dengan suami barunya. Adik-adik sangat senang, Bu. Kami bisa menjadi keluarga yang normal, meskipun kurang lumrah,” dia mengambil jeda untuk sedikit menghirup oksigen, “Ibu berhutang ke tetangga, lalu pergi.”

DEG!

Ya Allah, rasanya jantungku berhenti berdetak. Seketika aku menjadi hamba yang sesat dengan meragukan keadilan-Nya. Ya Allah, mengapa harus seperti ini? Anak sekecil ini? Apa dia akan kuat? Astaghfirllahaladzim. Ya Allah ampuni hamba-Mu yang meragukan kuasa-Mu. Maka aku berhenti suudzan. Aku hanya bisa berdoa, Laa khaula wa laa kuwwata illa billah, ya Allah kuatkanlah.

Kutepiskan kegelisahan hatiku sendiri. Kalau aku saja tidak sanggup, bagaimana dengannya? Aku tidak boleh lemah sekarang, siapa yang akan menguatkannya?

Kuambil napas panjang, sangat panjang, sepanjang aku kuat menghirupnya, “Nak, Allah memilih kamu karena Allah tahu kamu yang paling kuat diantara yang lain,” aku berharap apa yang kusampaikan akan mampu meredakan panas hatinya.

Kubimbing dia untuk mengambil air wudu. Kudampingi dia untuk mengambil kitab Allah. Ayat-ayat suci adalah obat dari segala macam penyakit. Sambil sesenggukan dia lantunkan ayat-ayat Alquran. Semakin lama semakin tenang, semakin damai. Ketika dirasa cukup dia menutup mushafnya. Senyum mulai mengembang di bibinya. Alhamdulillah ya Allah, Kau yang memberi luka, Kau pula yang Maha Penyembuh Luka.

“Tetap semangat, ya, kamu bisa,” dia mengangguk.

“Oh, iya, hampir saya lupa. Saya mencarimu untuk menyampaikan bahwa ada lomba karya ilmiah remaja untuk jenjang SMA/SMK se-Kota Salatiga, kamu bersedia ikut kan?” tawarku. Mungkin ini bukan saat yang tepat. Tapi, semoga dengan dia sibuk lomba, dia lebih banyak waktu yang bermanfaat, sehingga tidak ada waktu lagi untuk bersedih.

“Apa saya bisa bu?” dia tidak menolak, saya tahu dia mau.

“Kamu tahu, Bu Fatmah hanya percaya padamu, kamu yang terbaik,” aku menyemangati.

“Tapi karya ilmiahnya yang seperti apa?” aku menjadi bersemangat mendengar pertanyaannya. Oke, setidaknya dia mulai ada niatan untuk mempelajarinya.

“Karya ilmiah itu berupa tulisan, ada sistematikanya tersendiri, diambil dari data dan fakta, bisa berupa observasi, eksperimen, dengan melihat berbagai kajian teori,” dia mengangguk, membuat semangatku semakin berkobar.

“Yang penting daftar dulu, ya, Bu Fatmah tidak akan lepas tangan, saya akan membimbingmu sampai akhir,” aku meyakinkannya.

“Ya, Bu. Terimakasih atas kepercayaanya,” ucapnya tulus.

“Baiklah, sekarang kembali ke kelasmu. Katakan pada gurumu, kamu baru saja disuruh Bu Fatmah untuk fotokopi,” kini kutepuk pundaknya.

“Ya, Bu, terimakasih, Bu,” dia pamit.

Ya Allah, hamba mohon kepada-Mu sembuhkanlah lukanya, ya Allah. Masih di rumah Allah kupanjatkan doa untuknya.

***

Aku tidak pernah salah memilihnya untuk mengikuti lomba itu. Dia sangat bersemangat. Dia belajar dengan sangat cepat dan penuh ketekunan. Selama seminggu dia mengikuti rangkain kegiatan workshop di Gedung Pertemuan Daerah yang puncaknya adalah menulis karya ilmiah. Sorenya dia selalu datang ke rumah untuk bimbingan karya ilmiah. Semangatnya yang membuatku yakin bahwa dia akan berhasil.

Seminggu telah berlalu, hari ini adalah puncak kegiatan workshop. Aku berdoa dia akan mendapatkan hasil yang terbaik. Meskipun aku tahu, kami hanya sekolah kecil di pinggiran kota. Secara fasilitas kami banyak tertinggal dengan yang lain. Tapi, apapun hasilnya aku yakin, tidak ada hasil yang mendustai proses.

Nikmat Allah begitu sejuk menyiram dahaga hatiku. Kulihat dia berlari tergopoh-gopoh dari gerbang sekolah menuju ruang guru. Siswa sudah pulang, tinggal beberapa guru yang sudah berkemas untuk bersiap pulang setelah menyelesaikan tugas pengabdiannya hari ini. Masih sambil berlari dan terengah-engah dia meneriakkan namaku.

“Bu, Bu, Bu Fatmah!” kuhampiri dia, mataku tertuju pada sesuatu yang ada di gengaman tangan kanannya. Sebuah piala besar ia usung dengan bangganya. Di sana tertulis ‘Juara I Lomba Karya Ilmiah Remaja se-Kota Salatiga’.

Binar matanya menyorotkan kebahagiaan tiada tara. Rasa bangga membucah di dada.

“Terimaksih, Bu,” ungkapnya.

“Nak, saya yang seharusnya berterimakasih padamu. Kamu telah membanggakan sekolah ini dengan prestasi yang kauukir. Ini semua berkat kegigihanmu, Nak,” aku pun tak kuasa menyembunyikan rasa bahagiaku. Siapa yang sangka siswa dari sekolah pinggiran pun mampu berprestasi dan berkompetisi? Dia baru saja mengukir sejarah baru di sekolah ini. Hanya bangga dan haru memenuhi relung kalbuku.

Aku bersyukur bahwa ini menjadi langkah awal baginya membuka lembaran hidup yang baru. Semangat hidupnya kembali menyala. Coretan-coretan kusam dalam lembar hidupnya mulai terhapus. Berganti dengan halaman-halaman baru yang penuh dengan warna. Terimakasi ya Allah Tuhan semesta alam.

***

“Salaf,” panggilku padanya, waktu itu jam istirahat, aku duduk di teras musala depan kelasnya. Dia pun berhambur menemuiku. Kini dia telah berada di tingkat akhir SMK. Dia harus mulai menata hidupnya agar lebih bewarna.

“Ya, Bu,” jawabnya sambil berjalan ke arahku.

“Nak, kamu sekarang sudah kelas XII. Punya rencana setelah lulus SMK mau apa?” tanyaku memulai percakapan.

“Mungkin kerja, Bu,” jawabnya.

Kok, mungkin. Berarti kamu beum yakin?” tanyaku memancing.

Dia hanya mengangkat kedua bahunya. Bisa berarti tidak tahu, bisa juga berarti dia pasrah.

“Apa kamu tidak ada rencana untuk melanjutkan study-mu sampai ke bangku perkuliahan?” kulanjut tanyaku.

“Saya tidak berani bermimpi setinggi itu, Bu,” aku tahu dia benar-benar tidak punya daya.

“Nak, kamu itu pandai, tekun, Allah pasti kasih jalan. Apalagi kamu adalah tulang punggung keluarga. Nasib keluargamu, masa depan mereka ada di tanganmu. Kamu harus mengubah nasibmu menjadi lebih baik,” nasihatku yang terdengar sok bijak.

“Tapi bagaimana caranya, Bu?” dia benar-benar lemas.

“Ini, Bu Fatmah ada informasi tentang program pemerintah bernama ‘Bidik Misi’,” kuperlihatkan info di telepon genggamku.

“Itu apa, Bu?” tanyanya.

“Program beasiswa. Mungkin Allah menunjukkan Kuasa-Nya melalui ini. Jangan berhenti ikhtiar. Yakin, kun fayakun, yakin dengan Allah, Allah itu Mahakaya, Nak,” kunasihati dia.

“Baik, Bu,” sebersit bahagia terlihat di semburat senyumku. Aku tahu, jika dia sudah berkata ‘iya’, dia pasti bergerak.

“Ini kamu pelajari dulu. Jika nanti ada hal yang diperlukan, kamu bisa minta tolong Mas Adi, operator sekolah. Segara pelajari, ya,” saranku.

“Iya, Bu, saya boleh minta link-nya?” pintanya.

“Ya, tentu saja,” jadilah anak yang sukses ya, Nak. Buatlah kami bangga dengan kegigihanmu melawan getirnya dunia.

Hari berganti, waktu berlalu. Terdengar kabar dia diterima di STAIN Salatiga dengan program Bidik Misi. Terimakasih Pemerintah Indonesia, programmu benar-benar mampu mengangkat derajat mereka yang sangat membutuhkan.

Dan sekarang, dia telah berada di sini. Menjadi salah satu staf di kelurahan. Rasanya tidak akan percaya jika belum mengalami sendiri, memang benar telah tiba waktunya, pelangi itu datang setelah hujan. Setidaknya itulah yang kulihat di ceritanya.

Nak, setiap mengingat kata ‘terimakasih’ yang terlontar dari bibirnya yang jujur. Saat itu aku merasa malu pada diriku. Saat mendengar dia diterima bidik misi, saat itu aku justru seperti tertampar. Kenapa? Dia saja tidak berhenti untuk bermimpi. Lalu bagaimana dengan aku?

Aku juga tidak boleh meragukan kekuasaan Allah. Saat itu kupikir, menjadi guru di sekolah swasta adalah pencapaian tertinggiku. Aku sudah harus berpuas dengan apa yang telah kuraih. Bagaimana tidak? Baru lulus dari perguruan tinggi aku langsung mengabdikan diriku di sini, di saat masih banyak temanku yang belum juga mendapatkan pekerjaan, pantas dong aku merasa berpuas diri.

Tapi mengenalmu, Salaf, aku merasa semua puasku harus kutepis. Aku harus terus melaju agar hidupku menjadi lebih baik lagi. Maka aku pun tidak boleh berhenti sampai di sini. Saat dia diterima bidik misi, saat itu pula kuputuskan untuk mangikuti seleksi beasiswa S2, kulanjutkan study-ku sampai S2. Tidak ada yang boleh berhenti belajar. Tidak ada yang boleh berhenti berharap. 

Saat itu aku masih menjadi guru honorer, sulit mencari pekerjaan tanpa pengalaman. Aku merasa ini akhir perjuanganku, saatnya aku berhenti pula untuk bermimpi. Tapi tidak, karena Salaf, kutegakkan pula kepalaku. Kutatap masa depanku yang lebih baik. Kuperjuangkan beasiswa untuk menyelesaikan kuliah S2-ku. Tidak pernah ada pendidikan yang sia-sia. Aku yakin, ilmu bermanfaat yang kudapat di bangku perkuliahan, akan bisa berguna untuk bekalku di masa depan.

Ketika Salaf mengatakan, ‘terimakasih telah menginspirasiku, Bu’. Ah, Nak, kamu salah, bukan aku yang meginspirasimu, tapi kamulah yang telah mengisnpirasiku. Kamu yang menyadarkanku, bahwa untuk memotivasi orang lain, kita harus terlebih dahulu memotivasi diri sendiri. Sebelum kita menginspirasi orang lain, kita harus menginspirasi diri sendiri.

Terimakasih telah menuliskanku dalam penggalan kisah hidupmu. Teruslah bersinar. Teruslah bersyukur. Bahwa Allah akan menambahkan nikmat bagi hamba-Nya yang mau mensyukuri nikmat-Nya. Nak, ini bukan akhir dari segalanya. Perjuangan tidak akan pernah berakhir. Tugasmu saat ini mengangkat derajat adik-adikmu, mereka masih bergantung padamu. Maka dalam keadaan apapun jangan pernah kau menyerah.

Dari kisah ini aku bisa belajar, tentang sebuah ketangguhan. Ketangguhan muridku, mampu menginspirasiku, gurumu.

***

Aku berjalan pulang membawa selembar kertas berupa kartu kendali vaksin. Tanggal 8 Novermer 2021 aku akan kembali ke sini, Nak. Pada hari itu aku terjadwal untuk mengikuti vaksin kedua. Terimakasih untuk cerita hari ini, semoga esok hari masih akan tetap ada pelangi.

 

                                           Teruntuk muridku yang telah mengisnpirasiku

                                                                                    Salatiga, 30-10-2021

Tips Berpikir Kreatif dan Inovatif

        Kurikukum merdeka memberikan ruang kegiatan pembelajaran yang harus membahagiakan peserta. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru sebagai pendidik. Guru harus mengembangkan diri dan terus berlajar agar dapat menciptakan pembelajaran yang membahagiakan.

        Sebagai wadah untuk meningkatkan kompetensi guru, maka Pemerintah Pusat telah menyediakan PMM atau Platform Merdeka Belajar yang dapat diakses guru setiap saat dari komputer atau gawai Bapak/Ibu guru. Di sana disediakan materi-materi yang mampu meningkatkan pengetahuan peserta didik untuk mempersiapkan pembelajaran yang membahagiakan.

        Dalam platform tersebut terdapat beberapa topik yang harus dipelajari, refleksi diri, postest, dan bagian akhir harus melakukan aksi nyata sebagai tanda telah menyelesaikan mempelajari materi. Sebagai apresiasi atas usaha Bapak/Ibu guru yang telah menyelesaikan modul dalam topik PMM, Kementerian Pendidikan menyediakan sertifikat senilai 32-40JP.

        Sebagai salah satu aksi nyata yang terdapat di PMM, untuk Topik Semangat Guru 2, guru dituntut membuat sebuah video inspiratif yang diunggah pada akun medsos. Dalam kegiatan ini terdapat contoh video tentang


Tips Berpikir Kreatif dan Inovatif. Video tersebut dapat dilihat pada tautan berikut.

Rabu, 14 Oktober 2020

Adaptasi Pembiasaan Baru, Nepatsa Rilis Video Simulasi

Indonesia sekarang ini telah memasuki masa normal baru pandemi Covid-19. Salatiga sebagai bagian dari Negera Kesatuan Republik Indonesia telah melakukan berbagai persiapan fisik dan mental untuk beradaptasi dalam kebiasaan baru.

Dunia pendidikan menyambut baik kebijakan SKB 4 Menteri yang hasilnya memberikan lampu hijau kepada sekolah-sekolah yang telah memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan tatap muka. Mengingat, begitu banyaknya permasalahan yang muncul dengan pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang telah berlangsung lebih kurang enam bulan sejak pandemi ini mulai merebak.

Selasa, 13 Oktober 2020

Soal Online 1

Untuk anak-anak kelas 7 yang ingin berlatih soal bahasa indonesia semester 1, berikut saya bagikan Kuis / Latihan Soalnya.

Selamat Mengerjakan....

Artikel Penguatan Karakter

 


PENGUATAN KARAKTER PEDULI LINGKUNGAN MELALUI KEGIATAN MEMUNGUT SAMPAH SELAMA LIMA MENIT

Oleh: Nofi Alfiyah

 BAB I

PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada proses pembentukan karakter kuat pada anak didik.  Pendidikan karakter seharusnya ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Hal ini karena pendidikan karakter merupakan proses yang menyeluruh sehingga tidak dapat dilakukan secara instan. Pembentukan itu harus dilakukan bertahap dan sedikit demi sedikit. Karakter kuat yang dimiliki seseorang diharapkan mampu menyiapkan peserta menghadapi tantangan global dalam mempersiapkan masa depannya. Lebih jauh lagi diharapkan dapat mengatasi solusi kesemprawutan masalah yang ada di Indonesia. Mulai dari tindakan korupsi, anarki, serta skandal-skandal yang dibuat oleh anggota-anggota dewan yang semakin memprihatinkan.

TEKS BERITA


Siapa yang sudah mendengar berita hari ini?

Berita apa yang kamu dengar?

Setiap hari kita mendengar berita, membaca berita, dan mendapat berita. Tetapi sebenarnya apa itu berita? Sebelum kita membahas apa itu berita, bersama-sama kita cermati contoh berita berikut.

RPP

            Menurut Wikipedia Rencana pelaksanaan pembelajaran, atau disingkat RPP, adalah pegangan seorang guru dalam mengajar di dalam kelas. RPP dibuat oleh guru untuk membantunya dalam mengajar agar sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada hari tersebut. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berisi pengaturan yang berkenaan dengan perkiraan atau proyeksi tentang apa yang akan dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, kemungkinan pelaksaan pembelajaran sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah direncanakan ataupun tidak karena proses pembelajaran bersifat situasional, apabila perencanaan disusun secara matang maka proses dan hasil pembelajaran tidak akan jauh dari perkiraan.